Membangun dari Desa: Mengangkat Akar, Menguatkan Bangsa

suasana desa
Ilustrasi suasana desa. (Foto: pixabay.com)

Kita terlalu lama memulai dari pusat. Seakan kemajuan hanya mungkin terjadi dari kota ke desa. Dari gedung ke gubuk. Dari atas ke bawah. Padahal, sejarah telah berulang kali mengajarkan bahwa kekuatan sejati suatu bangsa justru lahir dari pinggiran. Dari akar rumput. Dari desa.

Pub Medsos 17 5
Asmar Hi. Daud
Akademisi

Desa bukan ruang yang tertinggal, melainkan tempat awal kehidupan tumbuh. Ia menyimpan sumber daya alam yang melimpah, kearifan lokal yang lestari, dan sistem sosial yang telah bertahan jauh sebelum negara modern berdiri. Oleh karena itu, membangun dari desa bukan sekadar strategi pembangunan melainkan sebuah keharusan moral dan politik.

Desa memiliki potensi besar yang belum sepenuhnya digarap secara adil dan bijak. Sumber daya manusia di desa tidak kalah cerdas, hanya kerap kurang diberi ruang. Inovasi bisa tumbuh di desa, sepanjang ada kepercayaan, pendampingan, dan akses yang merata. Apa yang dibutuhkan desa bukanlah belas kasihan, tapi kemitraan sejajar yang menjadikannya pusat penggerak pembangunan, bukan sekedar penerima program.

Dalam desa tersimpan nilai gotong royong, solidaritas sosial, dan tata nilai yang semakin memudar di kota. Jika pembangunan dibangun di atas nilai-nilai ini, maka kita tidak hanya menciptakan pertumbuhan ekonomi, tapi juga membentuk karakter bangsa. Membangun desa berarti memperkuat fondasi sosial kita.

Belajar dari Maluku Utara: Desa dan Kearifan Sosial

Maluku Utara, sebagai provinsi kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau besar seperti Halmahera, Ternate, Tidore, Bacan, hingga Sula dan Taliabu, menyimpan banyak contoh desa-desa yang hidup dengan nilai sosial khas. Mereka adalah representasi desa-desa pesisir Indonesia yang kaya akan kearifan lokal dan bisa menjadi model pembangunan dari akar.

Baca pula:  Ini Status IDM setiap Kecamatan di Kabupaten Kepulauan Sula

Di Halmahera Timur, hidup sistem nilai Limabot Fayfiye yang berarti “lima ikatan hidup bersama”. Nilai ini terdiri dari Jou (pemimpin), Soa (marga), Gimelaha (agama), Hokula (wilayah), dan Fayfiye (masyarakat). Nilai ini menjadi dasar partisipasi masyarakat dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan pengambilan keputusan. Ini adalah bentuk demokrasi lokal yang tumbuh organik.

Sementara di Halmahera Tengah, masyarakat Patani dan Weda menjunjung tinggi falsafah Fogogoru yang menyatukan manusia, tanah, dan air sebagai satu kesatuan hidup. Fogogoru menjadi dasar pelestarian lingkungan dan solidaritas sosial. Dalam pandangan ini, merusak alam berarti merusak hidup bersama.

Di Halmahera Selatan, nilai Saruma atau “Satu Rasa, Satu Rumah” menjadi fondasi sosial yang mengikat masyarakat lintas etnis dan agama. Dalam praktiknya, masyarakat saling bantu saat panen, membangun rumah, atau dalam hajatan keagamaan tanpa memandang latar belakang. Ini adalah wujud dari inklusi sosial yang nyata.

Di Tidore Kepulauan, masih hidup sistem Soa dan kepemimpinan adat yang kuat, di mana keputusan penting diambil secara musyawarah dengan melibatkan tokoh adat. Ketaatan terhadap struktur ini menjadi jaminan keharmonisan dan keberlanjutan tata kelola desa.

Di Sula dan Taliabu, dikenal ritual Baronda, bentuk syukur dan penghormatan terhadap laut. Masyarakat menjaga laut bukan hanya karena kebutuhan ekonomi, tapi sebagai bagian dari spiritualitas dan warisan budaya.

WhatsApp Channel SALOI.ID