Transformasi Agromaritim dan Tantangan Kesiapan Daerah
Peradaban agromaritim tidak lahir dari meja-meja rapat, tetapi dari kebijakan yang menyentuh akar dan dari sistem yang tumbuh bersama rakyat. Sebab dari merekalah, Halmahera Selatan bisa bertumbuh bukan hanya sebagai daerah kaya potensi, tapi juga sebagai tanah harapan yang berdaulat dari laut dan ladangnya sendiri.

Akademisi
Tonggak Baru Pembangunan Daerah Halmahera Selatan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbang) Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) Tahun 2026 yang digelar pada April 2025, menandai sebuah tonggak penting dalam arah baru pembangunan daerah.
Tema “Transformasi Agromaritim dan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan Didukung Peningkatan SDM dan Penurunan Kemiskinan” bukan hanya refleksi dari semangat zaman, tetapi sekaligus panggilan untuk melakukan koreksi struktural terhadap pola pembangunan yang selama ini berjalan parsial dan sektoral.

Bupati Hasan Ali Bassam Kasuba dengan tegas menyatakan pentingnya perencanaan yang kontekstual dan inovatif, tidak sekadar menyalin dari luar. Gagasan ini pantas diapresiasi karena menyadarkan kita bahwa kebijakan pembangunan yang berhasil harus berakar dari karakteristik lokal.
Namun, seberapa siapkah Kabupaten Halmahera Selatan, baik dari sisi masyarakat, kelembagaan teknis, maupun dukungan fiskal, untuk benar-benar menjalankan transformasi besar ini?
Agromaritim: Visi Besar yang Butuh Kaki-kaki Kuat
Pendekatan agromaritim bukan sekadar penggabungan antara sektor pertanian dan kelautan, tetapi sebuah transformasi menyeluruh yang mensyaratkan integrasi hulu-hilir, kolaborasi lintas sektor, dan penguatan ekosistem produksi lokal.
Potensi Halsel jelas besar. 30 kecamatan dengan laut yang luas, garis pantai yang strategis, serta basis pertanian dan perikanan rakyat yang tangguh secara historis. Tetapi kekayaan ini belum sepenuhnya menjelma menjadi kesejahteraan.
Masyarakat Pesisir: Basis yang Belum Diperkuat
Nelayan dan petani pesisir adalah tulang punggung agromaritim. Namun realitanya, mereka juga adalah kelompok yang paling rentan:
- Literasi usaha dan teknologi masih rendah;
- Ketergantungan pada musim, BBM, dan pasar antara; dan
- Lemahnya kelembagaan ekonomi lokal dan konektivitas infrastruktur dasar.
Tanpa strategi pemberdayaan yang spesifik dan terencana, transformasi agromaritim berpotensi hanya akan memperkuat elite ekonomi baru, meninggalkan nelayan dan petani dalam lingkaran lama ketidakberdayaan.
Diperlukan program pelatihan, inkubasi usaha, koperasi nelayan/petani modern, serta integrasi data sosial-ekonomi untuk menjadikan mereka aktor utama, bukan penonton di wilayahnya sendiri.
Kesiapan Dinas Teknis: Antara Rencana dan Pelaksanaan
Dinas Perikanan dan Dinas Pertanian Halsel adalah motor teknis transformasi ini. Namun ada tantangan besar:
- Rencana kerja dinas masih bersifat sektoral dan belum integratif;
- SDM dan budaya kerja masih belum sepenuhnya memahami pendekatan agromaritim sebagai strategi lintas sektor;
- Belum ada pilot project kawasan agromaritim terpadu sebagai model rujukan lintas OPD dan masyarakat; dan
- Koordinasi dan sinergi program masih bersifat simbolik dan belum terstruktur dalam satu sistem kendali bersama.
Fiskal dan Anggaran: Saatnya Menggeser Prioritas
APBD Halsel selama ini masih didominasi belanja rutin dan program tahunan jangka pendek. Transformasi agromaritim membutuhkan:
- Relokasi anggaran ke sektor produktif dan berbasis kawasan;
- Integrasi belanja OPD dalam satu kerangka pembangunan kawasan agromaritim;
- Penguatan peran Bappeda sebagai koordinator substansi, bukan sekadar operator Musrenbang; dan
- Penerapan participatory budgeting agar desa-desa pesisir bisa benar-benar menentukan prioritas sesuai kebutuhan nyata.