Masih Serba Tradisional
Eksis di tengah menjamurnya ribuan produk cemilan masa kini, namun usaha Halua Kenari di Desa Suma hingga kini masih dilakukan secara tradisional dan manual.
Tidak hanya pada proses pembuatan hingga alat yang dipakai. Namun, juga pada proses pengemasan (packing) hingga pemasaran (marketing).
Kendati kini banyak tersedia e-commerce, namun warga Desa Suma masih tetal memasarkan produk halua kenarinya mengikuti tradisi yang diwariskan orang tua, yakni berjualan di tempat keramaian.
Salma dan beberapa warga bisanya menjual hasil halua kenari di dua lokasi yang selama ini selalu dilakukan orang tuanya mereka:i pelabuhan speed boat Desa Suma dan Pelabuhan Feri.
Mereka selalu menjajakan dagangan di setiap ada speed boat atau kapal Feri yang masuk. “Kebiasaan cara berdagang seperti ini sudah bertahun-tahun kami lakukan,” katanya.
Namun, aktivitas berjualan di pelabuhan itu tidak selalu dilakukan setiap hari, melainkan tergantung pada jadwal kapal.
“Jadi kalau kapal penumpang tidak beroperasi maka kami pun tidak berjualan,” sambungnya.
Omzet Capai Puluhan Juta
Bagi warga Desa Suma, usaha Halua Kenari tidak hanya menjaga warisan orang tua. Usaha kuliner ini juga menjadi penopang ekonomi keluarga sehari-hari.
Bahkan, dari halua kenari itu, Salma dan warga Suma bisa merenovasi rumah dan menyekolahkan anak-anak.
Dengan harga jual bervariasi antara Rp.10 ribu hingga Rp.20 ribu rupiah (tergantung ukuran), dalam sehari mereka bisa mendapat omzet antara Rp.100 ribu hingga Rp.200 ribu. Bahkan, pada momen-momen tertentu, seperti bulan Ramadhan dan lebaran, omzetnya bisa lebih besar.
Jika dikalkulasikan dalam sebulan, omzet yang didapat para pedagang halua kenari mencapai enam juta rupiah. “Kalau satu tahun bisa capai sekitar Rp.72 juta,” sebutnya.
Untuk mengembangkan usaha Halua Kenari-Nya, Salma sudah mengajukan pinjaman modal usaha ke Bank. Uang pinjaman itu akan dipakai membeli bahan baku halua kenari seperti gula dan kertas kemasan.